Teguh Wicaksono : Danilla Yang Sesungguhnya

Haruskah kita memisahkan karya dengan identitas pencetusnya? Ada banyak hal di luar musik Danilla yang entah jadi berkah atau kutukan untuk karirnya yang meroket tinggi. Berbagai cara mencintai Danilla: isu sosial di lirik-liriknya, parasnya yang cantik, atau karena dia berteriak kontol di salah satu wawancara yang beredar di dunia maya.


Di peradaban media sosial di mana refleksi kepribadian manusia bisa dikonsumsi dan dikomentari secepat pergerakan jempol Anda, identitas musisi menjadi bagian tidak terpisahkan dari karyanya. Tidak jarang yang menggunakan hal ini menjadi narasi utama strategi pemasarannya. Sementara kita memasuki musim paceklik media musik dengan substansi, para musisi modern berlatih mandiri, berpikir keras membangun presence kuat melalui saluran pemasaran pribadi mereka. 


Celakanya, bagi Danilla ini sama sekali bukan tentang strategi atau lebih parah, sebuah gimmick. Danilla, hanya jadi dirinya sendiri di depan 1.2 juta pasang mata di Instagram dan jagat internet lainnya.


Para penelisik nampaknya jatuh cinta dengan sosok musisi anggun dan cool di atas panggung, namun lugas dan urakan di media sosial. Realitas online dan offline Danilla yang terpolarisasi, berjasa menebar jaring fandom ke ranah-ranah yang tidak terbayangkan sebelumnya. Rumus yang sama juga nampaknya membuat Danilla mencuat di antara solois-solois wanita lainnya (yang jumlahnya banyak di Indonesia, dengan kompetisi sengit pula), juga melayani fantasi pendengar Danilla yang seringkali menganggap dia akan senang-senang saja jika dikirimi komentar cabul di media sosial, atau dianggap seperti objek di atas panggung.


Fingers, adalah upaya Danilla untuk mengklaim kembali narasi tentang identitas dirinya. Dibuat dengan spontan, karya ini punya efek yang kompleks untuk saya, saat pertama kali mendengarkannya dengan seksama. Sembilan puluh persen muatan Fingers terdiri dari petikan gitar dan vokal Danilla, racikan sederhana yang membuat saya menaruh perhatian ekstra kepada konteks dan progresi.

Fingers juga menjadi sebuah pencapaian pribadi untuk Danilla karena dibuat tanpa banyak campur tangan dari Lafa Pratomo, mitra Danilla di atas panggung dan di dalam studio. Keintiman yang dihadirkan Fingers tidaklah dingin dan sepi, namun misterius dan memancing rasa penasaran. Olahan lirik di album ini juga banyak menggambarkan keresahan Danilla terhadap temperatur sosial dan kultur di Indonesia.


“I don’t want to live a lie. I’m letting go all the things I should,” ujarnya di Pinky, lagu penutup Fingers yang berdurasi satu menit lebih. Ada belasan alasan kenapa banyak kepala mengamini frasa “Harta, Tahta, Danilla” tapi bagi saya, EP Fingers adalah sebuah kesempatan emas untuk mengenal sosok Danilla yang sesungguhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *.

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>